Membeli Sepotong Kenangan: Aroma Masa Kecil Dalam Selembar Daun Jati

- 13.56
advertise here

Oleh: Andi Zulkarnain (Guru SMPN 1 Prambanan) Sabtu, 6 Desember 2025

Makanan Di Atas Daun Jati

Pagi tadi, di tengah hiruk-pikuk jalanan menuju kantor, laju kendaraan saya terhenti. Bukan karena lampu merah, bukan pula karena kemacetan yang biasa menyergap kota ini. Mata saya tertumbuk pada sesuatu yang warnanya kontras dengan abu-abunya aspal dan beton: hijau, lebar, dan bertekstur kasar.

Di sana, seorang ibu separuh baya dari desa Surowono, pedagang nasi duduk dengan dagangan yang tidak biasa. Ia tidak menggunakan kertas minyak berwarna coklat, apalagi styrofoam atau kantong plastik bening yang kini merajai pasar. Ia membungkus nasinya dengan daun jati.

Mesin Waktu Bernama Daun Jati

Seketika, pikiran saya terlempar mundur ke puluhan tahun silam. Ke masa kecil di mana plastik belum sefamiliar sekarang.

Dulu, daun jati adalah sahabat akrab kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekadar sampah organik, melainkan wadah serbaguna yang disediakan alam. Daunnya yang lebar dan seratnya yang kuat membuatnya menjadi pembungkus yang sempurna. Tanpa kita sadari waktu itu, kita sedang menjalani hidup yang sangat sustainable dan ramah lingkungan, jauh sebelum istilah "Go Green" dikampanyekan di mana-mana.

Melihat tumpukan bungkusan itu pagi ini, rasanya seperti bertemu kawan lama yang sudah lama menghilang ditelan zaman.

Rasa yang Biasa, Aroma yang Istimewa

Saya pun menepi, memutuskan untuk membeli. Ketika bungkusan itu dibuka, isinya sebenarnya sangat sederhana. Tidak ada lauk mewah atau racikan bumbu rahasia yang rumit.

Nasi Putih Hangat: Masih mengepulkan uap

Lauk Pauk: Telur kecap, tahu tempe bacem yang manis-gurih, dan sayur urap dengan parutan kelapa yang segar. Dibandrol 6 ribu untuk satu bungkus. Sampai dikantor dimakan bertiga: pak Wiwit, saya dan ibu Sri Widayati. 

Jika bicara soal rasa lidah, mungkin rasanya sebelas-dua belas dengan warung nasi biasa yang menggunakan kertas coklat. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ditiru oleh pembungkus modern: Aroma.

Ada reaksi kimia magis yang terjadi saat nasi panas bersentuhan dengan permukaan daun jati. Uap panas itu memaksa daun mengeluarkan aroma khas, wangi hutan, sedikit earthy, dan sejuk. Aroma inilah yang meresap ke dalam nasi, memberikan sensasi rasa yang tidak bisa didapatkan di restoran bintang lima sekalipun. Aroma "ndeso" yang menenangkan.

Membeli Kenangan yang Terlupakan

Saya menyadari satu hal saat menyantap suapan pertama. Sesungguhnya, saya tidak berhenti karena lapar. Saya berhenti karena rindu.

Uang yang saya keluarkan pagi ini bukan sekadar transaksi jual-beli makanan untuk mengisi perut. Saya sedang "membeli kenangan."

Saya membeli ingatan tentang pagi hari di masa kecil, tentang kesederhanaan hidup di mana segala sesuatunya terasa lebih alami, dan tentang bagaimana alam pernah begitu dekat dengan keseharian kita. Bagi sebagian orang yang terburu-buru mengejar waktu, bungkusan daun jati itu mungkin hanya sekadar metode pengemasan kuno. Tapi bagi saya, itu adalah jeda yang berharga.

Ternyata benar, kadang kita tidak butuh kemewahan untuk merasa bahagia. Cukup dengan nasi, urap, sebutir telur kecap, dan aroma daun jati, kita bisa "pulang" sejenak ke masa lalu yang hangat.

Prambanan, 06 Desember 2025

Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search

Catatan: