Tiga Dimensi Vital Tujuan Pendidikan, Melampaui Batas Kelas

- 18.27
advertise here

Oleh:  Andi Zulkarnain, M.Pd (Guru SMPN 1 Prambanan Klaten) Senin, 8 Desember 2025, 18:20 WIB


Ilustrasi Siswa Melakukan
Kegiatan Lapangan (Sumber: Winastawangora.com)


Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan peradaban


Sering kali, dalam percakapan sehari-hari, makna pendidikan mengalami reduksi yang cukup memprihatinkan. Pendidikan kerap kali hanya dianggap sebagai jembatan menuju karier, sebuah "pabrik" untuk mencetak tenaga kerja, atau sekadar formalitas demi selembar ijazah. Padahal, jika kita menelisik lebih dalam ke akar filosofisnya, pendidikan memiliki mandat yang jauh lebih agung daripada sekadar urusan ekonomi. 

Pendidikan yang sejati harus mampu menyentuh tiga dimensi fundamental eksistensi manusia: kemampuan bertahan hidup (how to make a living), pencarian makna hidup (how to lead a meaningful life), dan upaya memuliakan kehidupan itu sendiri (how to ennoble life).

Tujuan pertama, dan yang paling pragmatis, adalah how to make a living (bagaimana mencari penghidupan). Kita tidak bisa menafikan bahwa manusia membutuhkan fondasi materi untuk bertahan hidup. 

Di sinilah pendidikan berperan memberikan hard skills, kompetensi teknis, dan kecerdasan logis. Sekolah dan universitas membekali peserta didik dengan alat untuk memecahkan masalah praktis, entah itu melalui ilmu teknik, ekonomi, kedokteran, atau kejuruan. Tanpa aspek ini, seseorang akan kesulitan untuk mandiri secara finansial dan berpotensi menjadi beban sosial. 

Pendidikan memberdayakan individu untuk menukar keterampilan mereka dengan nafkah yang layak, memungkinkan mereka berdiri di atas kaki sendiri di tengah kompetisi global yang semakin sengit.

Namun, jika pendidikan berhenti hanya pada aspek mencari nafkah, manusia tidak akan berbeda jauh dengan mesin produksi. Inilah mengapa tujuan kedua, how to lead a meaningful life (bagaimana menjalani hidup yang bermakna), menjadi krusial. Setelah perut terisi, manusia akan bertanya: "Untuk apa saya ada di sini?". 

Pendidikan bertugas menyalakan api nalar kritis dan imajinasi. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya menjalani rutinitas, tetapi memahami peran kita dalam masyarakat. Melalui sastra, sejarah, dan filsafat, pendidikan membantu kita menemukan passion, menghargai keindahan, dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati sering kali datang dari kontribusi kita terhadap orang lain, bukan sekadar akumulasi harta. 

Pendidikan memberi "isi" pada waktu yang kita miliki di dunia, mengubah sekadar "hidup" (surviving) menjadi "kehidupan" (living).

Puncak dari segala proses belajar adalah tujuan ketiga: how to ennoble life (bagaimana memuliakan hidup). Ini adalah dimensi moral dan spiritual. Orang yang cerdas secara intelektual dan sukses secara finansial bisa saja menjadi koruptor atau penindas jika aspek ini diabaikan. 

Pendidikan harus mampu mentransformasi karakter, mengasah empati, dan menanamkan kebijaksanaan. Ennobling life berarti menggunakan ilmu yang dimiliki untuk mengangkat derajat kemanusiaan, membela keadilan, dan merawat peradaban. Ia mengajarkan kita adab sebelum ilmu, dan integritas di atas popularitas.

Sebagai simpulan, pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Ia adalah perjalanan integratif yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. 

Kita memerlukan keterampilan untuk mencari nafkah agar dapur tetap mengepul, pemahaman makna agar jiwa tidak hampa, dan kemuliaan akhlak agar keberadaan kita menjadi berkah. 

Ketika ketiga tujuan ini terpenuhi, maka benarlah sebuah pepatah baru: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan peradaban.

Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search

Catatan: