![]() |
Air Panas Nyelanding (Sumber: trevel.tribunnews.com) |
Pada zaman dahulu di sebuah desa yang damai di Pulau Bangka
bagian selatan, hiduplah seorang pemuda yang baik hati dan sangat dermawan.
Walaupun hidup sederhana dengan berladang jabak, sejenis gandum, tapi kemurahan
hatinya untuk selalu berbagi rejeki dan menolong sesama orang sekampung sangat
menggugah hati. Pemuda itu bernama Bujang Nyelanding.
Hari sudah senja. Bujang Nyelanding
bermaksud segera pulang setelah seharian ikut upacara adat Hikuk Halawang di
desanya. Dalam perjalanannya itu, ia berjumpa dengan seorang nenek tua yang
tersesat dan kelaparan. Tersentuh hatinya untuk menolong nenek itu yang
terlihat sedang kebingungan.
“Nenek pasti belum makan, ya? Ayo kita
makan dulu di pondok aku!”ajak Bujang Nyelanding.
Bujang Nyelanding membawa nenek tua
itu ke pondoknya yang sederhana. Dengan penuh kasih sayang, Bujang Nyelanding
menyuapi nenek tua itu makanan berupa bubur jabak hasil dari ladangnya.
“Terima kasih sudah memberi nenek
makananmu, ya, Nak! Kamu baik sekali! Nenek sudah cukup kenyang. Tapi, badan
nenek terasa kotor. Di manakah nenek bisa membersihkan diri?” tanya nenek tua
tersebut.
“Nenek bisa mandi dan membersihkan
diri ke tumbek yang ada di belakang pondokku ini,” jawab Bujang Nyelanding.
Tumbek di belakang pondok Bujang Nyelanding tak seberapa besar. Hanya sebuah
danau kecil saja.
“Baiklah, nenek akan ke sana.”
“Apakah Nenek sudah cukup kuat untuk
ke tumbek sendiri?” tanya Bujang Nyelanding khawatir.
“Tentu saja. Kamu tunggu di pondok
saja. Nenek tak akan lama,” jawab sang Nenek.
Tak berapa lama kemudian, sang nenek
kembali ke pondok, namun dengan rupa yang sangat berbeda. Alangkah terkejutnya
Bujang Nyelanding saat ada seorang gadis yang cantik jelita memasuki pondoknya.
“Kaa..kaa..Kaamuu..Kamu siapa?”tanya
Bujang Nyelanding gugup.
“Aku Dayang Aluk, nenek tua yang kamu
suapi makan bubur tadi,”jawab gadis itu sambil tersenyum.
“Bagaimana mungkin?” sanggah Bujang
Nyelanding tak percaya.
“Aku sengaja menyamar menjadi seorang
nenek tua untuk merasakan kebaikan hatimu yang selalu dibicarakan orang-orang,”
jelas Dayang Aluk.
Melihat kecantikan dan keanggunan
Dayang Aluk, Bujang Nyelanding langsung jatuh hati dan berniat
memperistrikannya. Dayang Aluk bersedia menjadi istri baginya dengan satu
syarat yang harus dipatuhi oleh Bujang Nyelanding.
“Aluk ikhlas menjadi istri Abang. Aluk
hanya minta Abang mau berjanji satu hal saja buat Aluk.”
“Janji apa, Dek?”
“Abang jangan masuk ke dapur,ya!”
“Oh.. tidak apa-apa. Abang berjanji!”
Tahun berlalu tahun, Bujang Nyelanding
dan Dayang Aluk hidup harmonis dan berbahagia. Bujang Nyelanding masih tetap
murah hati dan selalu menolong masyarakat yang berkekurangan. Hasil panen
jabaknya sebagian besar dibagikan pada warga sekampungnya yang lebih kekurangan
darinya.
Anehnya, seberapa pun banyak yang
diberikan kepada orang lain, jabak di rumah Bujang Nyelanding tetap masih ada
dan berlimpah. Seolah-olah tak pernah habis untuk dibagi. Dayang Aluk pintar
sekali mengolah bubur jabak yang enak untuk suaminya sehingga Bujang Nyelanding
selalu menantikan makan bubur jabak setiap pulang dari ladangnya.
Suatu hari, timbul rasa penasaran
dalam hati Bujang Nyelanding. Sekian lama menikah, Dayang Aluk masih saja
melarangnya masuk ke dapur.
“Apa yang dilakukan istriku di dapur, ya?
Mengapa aku tidak boleh melihatnya?”
Karena dorongan rasa penasarannya itu,
ia pun langsung masuk ke dapur di saat Dayang Aluk sedang memasak bubur jabak
kesukaannya.
Betapa terkejutnya Bujang Nyelanding
saat melihat wujud asli dari Dayang Aluk. Ternyata ia adalah seorang peri
dengan sayap indah berkilau. Setiap kepakan dari sayapnya menghasilkan
bulir-bulir jabak yang berlimpah.
“Abang, kesaktianku ini akan hilang
jika dilihat oleh manusia biasa. Bukankah kita sudah sepakat dan dirimu telah
berjanji untuk tidak menghampiriku di dapur ini?” tanya Dayang Aluk di sela
tangisannya.
Dayang Aluk sangat kecewa kepada
Bujang Nyelanding karena sudah melanggar janji mereka. Bubur jabak yang masih
panas itu beserta periuknya dibuang ke tumbek di belakang rumah mereka. Dan
seketika air tumbek itu berubah menjadi air panas.
“Maafkan aku, Istriku, aku
bersalah….aku bersalah ! Huhu..hu..”
Bujang Nyelanding menangis
tersedu-sedu dan terus memohon.
“Jangan pergi, Istriku ! Aku mohon !
Aku mencintaimu. Maafkan kekhilafan aku! Hu…hu…hu…”
Bujang Nyelanding sangat menyesali
perbuatannya itu. Tapi apa mau dikata, sudah terlanjur. Kesaktian Dayang Aluk
yang didapat dari hasil bertapa ratusan tahun, sirna begitu saja oleh
kecerobohan suaminya sendiri.
Dayang Aluk pun pergi meninggalkan
Bujang Nyelanding dan tak pernah kembali lagi. Kononnya, ia pergi jauh ke
sebuah hutan yang kemudian dikenal dengan daerah Kelekak Nek Aluk.
Air tumbek panas bekas buangan bubur
jabak itu masih ada dan tetap panas sampai sekarang. Periuk yang dipakai Dayang
Aluk untuk memasak yang ikut dibuangnya itu juga berubah menjadi air panas yang
dapat diminum dan dipercaya baik untuk kesehatan dan awet muda. Oleh masyarakat
setempat, tumbek yang kini sudah mengeluarkan mata air panas itu kemudian diberi nama Air Panas Nyelanding
untuk menghormati Sang Bujang yang terkenal murah hati.
Sedangkan acara adat Hikuk Halawang
juga masih terus dilestarikan oleh warga desa. Acara yang sakral untuk
menyambut Tahun Baru Hijriah sekaligus upacara syukur atas panen yang berlimpah
serta memanjatkan doa agar kampung mereka terhindar dari musibah dan
malapetaka. Pada tradisi turun-temurun itu setiap laki-laki akan berkumpul di
balai desa atau di tempat ibadah sambil membawa dulang berisi masakan seekor
ayam dan nasi ketan untuk dimakan bersama dengan penuh rasa kekeluargaan. Acara
kemudian dilanjutkan dengan saling bersilahturahmi antar kerabat dengan suasana
penuh sukacita.
Semenjak ditinggal sang istri
tercinta, Bujang Nyelanding kehilangan gairah hidup. Hatinya nelangsa
merindukan orang yang sangat dicintainya. Ia sering duduk termenung memandang
kolam air panas di belakang gubuknya itu hingga berjam-jam sampai terus
meratapi penyesalannya.
Suatu malam, saat ia terlelap dalam
tidurnya, Bujang Nyelanding bermimpi bertemu lagi dengan istrinya, Dayang Aluk.
Dalam mimpinya, sang istri menyampaikan pesan:
“Kita
akan berkumpul kembali jika Abang dapat mempertemukan 1.000 pasang kekasih.
Mintalah mereka untuk menghangatkan raga di kolam air panas itu, niscaya cinta
mereka akan hangat selamanya!”
Sejak saat itu, Bujang Nyelanding
dipercaya sering menampakkan diri untuk memberi petunjuk soal jodoh kepada
muda-mudi yang berbudi pekerti baik. Semoga saja suatu saat nanti, Bujang
Nyelanding dapat bersatu Kembali dengan Dayang Aluk, sang istri tercinta!
Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon