Segitiga Restitusi, Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

- 06.21
advertise here
Oleh: Melia Noprianda, S.Pd (Guru SMP Negeri 2 Tukak Sadai)
Kamis, 4 Mei 2023, 07:39 WIB 




Sesuai dengan peran guru yang dijabarkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwasanya guru tidak bisa mengubah (mengontrol) siswa menjadi apa yang guru inginkan. 

Hal ini disebabkan masing-masing siswa sudah memiliki kodratnya masing-masing.

Tugas guru hanya sebatas membimbing, memotivasi atau mendorong keinginan saja atau memastikan si anak tumbuh sesuai dengan kodratnya. 

Berangkat dari hal tersebut, ketika kita ingin menciptakan budaya positif disekolah dengan menerapkan disiplin positif maka kita tidak bisa memaksakan siswa melakukan hal tersebut. 

Proses pemaksaan melalui pemberian hukuman, konsekuensi ataupun penghargaan hanya bersifat sementara saja bahkan lebih parahnya akan menyebabkan bangkitnya perasaan dendam ataupun hal negatif lain. 

Oleh sebab itu kita perlu mencari cara lain agar budaya positif dapat diterima secara terbuka dengan cara menyentuh perasaan mereka.

Berbicara mengenai perasaan, ketika seorang guru sudah bisa menyentuh hati nurani siswa dengan cara memahami kebutuhan apa yang mereka inginkan dan menunjukan rasa kepedulian mengenai hal tersebut maka siswa akan dengan mudah memahami disiplin positif yang ingin diterapkan padanya.

Namun, untuk bisa mencapai tahap tersebut tentu kita harus melakukan kolaborasi dengan siswa dalam hal menciptakan disiplin positif apa yang mereka inginkan dan butuhkan. 

Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan rapat kelas mengenai kebutuhan dan keinginan mereka, menuliskannya di kertas atau sticky note dan menempelkannya di dinding kelas agar selalu bisa diingat. 

Dengan mengajak siswa secara langsung mengungkapkan keinginan mereka maka kita sudah membangkitkan motivasi intrinsik terhadap mereka bahwa disiplin positif atau keyakinan kelas yang mereka buat bukan untuk orang lain melainkan untuk mereka sendiri.

Hal yang dijabarkan di atas sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di sekolah selama ini.

Kita sebagai guru ternyata mengalami kegagalan paham yang diyakini sebagai suatu kebenaran selama ini, misalnya saja menganggap suatu kedisiplinan itu merupakan ajang pemaksaan siswa untuk mengikuti peraturan yang telah dibuat sekolah. 

Saya menyatakan hal ini sebagai pemaksaan karena kedisiplinan itu dilakukan tanpa memberikan pemahaman kepada siswa mengapa hal tersebut harus mereka patuhi. 

Pemaksaan yang selama ini sering dilakukan di sekolah bisa dalam wujud pemberian hukuman (penghukum), pemberian konsekuensi dibarengi dengan menimbulkan perasaan bersalah pada siswa, ataupun pemberian hadiah dengan pendekatan sebagai orang yang bersahabat dengan siswa.

Atau mengarahkan pikiran siswa bahwa siswa tersebut salah tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri kesalahan mereka, mengemukakan alasan ataupun keyakinan yang mereka langgar. 

Padahal pemaksaan tersebut bukanlah suatu tindakan yang tepat dilakukan karena pada dasarnya kita tidak dapat mengontrol pikiran atau perbuatan seseorang.

Jikapun kita merasa bahwa perbuatan tersebut berhasil sejatinya bukan tindakan kita yang berhasil melainkan siswa sedang mengizinkan hal tersebut terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Entah karena takut atau karena hal lain yang pasti ada motivasi dari luar yang membuat siswa mau mengikuti pemaksaan tersebut. 

Sayangnya, hal tersebut juga tidak berlangsung lama, ketika siswa melakukan sesuatu bukan karena didasari keinginan sendiri atau keyakinan dari dalam diri sehingga tidak terbangun pondasi yang kuat dari dalam dirinya.

Ketika alasan siswa menerima pemaksaan atau motivasi dari luar tersebut menghilang maka siswa akan kembali ke perilaku sebelumnya.

Lalu adakah cara lain yang lebih baik dari keempat cara tersebut yang dapat menyentuh hati nurani siswa?, Jawabannya dengan menerapkan segitiga restitusi!. 

Restitusi adalah sebuah cara untuk menanamkan disiplin positif pada siswa tanpa menghakimi melainkan dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa secara bebas untuk memperbaiki kesalahan mereka dengan cara dan kesadaran mereka sendiri. 

Pada restitusi, seorang guru berperan sebagai pembimbing yang membimbing siswa melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan kesalaham, menggali alasan dan memahami keyakinan apa yang mereka langgar sehingga harapan akhirnya siswa dapat menyadari kesalahannya sendiri.

Belajar dari kesalahan tersebut hingga akhirnya mereka menyadari suatu nilai keyakinan yang melekat dan memperkuat karakter siswa.

Untuk dapat menerapkan segitiga restitusi secara maksimal maka kita pun harus mengubah paradigma yang selama ini terjadi sekolah. 

Jika awalnya kita membuat peraturan yang kita anggap sebagai budaya positif hanya satu pihak saja tanpa melibatkan siswa maka mulai dari sekarang kita harus melibatkan siswa. 

Libatkan mereka untuk memberikan ide-ide mengenai budaya positif/disiplin positif/keyakinan kelas apa yang mereka butuhkan dan inginkan agar muncul rasa memiliki dan tanggung jawab untuk menjalani apa yang mereka tuliskan sendiri. 

Mengapa hal ini penting dilakukan? Agar ketika menerapkan segitiga restitusi kita hanya tinggal menggali dan mengingatkan kembali saja mengenai apa yang mereka tuliskan, keyakinan apa yang mereka langgar sehingga motivasi dari dalam dirinya mudah dimunculkan.

Megapa saya bisa bicara demikian?.

Karena hal tersebut sudah saya buktikan dengan penerapan segitiga restitusi yang saya lakukan kepada beberapa siswa.

Ketika mereka diminta pendapat mengenai kegiatan ini semua dari siswa menjawab bahwa mereka lebih tahu dan yakin kenapa mereka harus disiplin terhadap keyakinan kelas yang dibuat.

Mereka tidak merasa takut atau malu tetapi dengan sukarela berbicara mengenai kesalahan dan bersedia untuk menjadi lebih baik kedepannya.

Saya yakin kesadaran siswa yang demikianlah yang diharapkan oleh semua guru. 

Tindakan-tindakan guru dengan cara menghukum, memberikan konsekuensi dan sebagainya tidak lain karena tujuan akhirnya mereka semua menginginkan hal demikian meski ternyata cara tersebut salah.

Memberikan hukuman atau konsekuensi dengan berpura-pura marah kepada peserta didik pun membutuhkan energi yang sangat besar sehingga biasanya guru akan cepat lelah, dengan penerapan segitiga restitusi ini maka guru bisa menyelesaikan masalah siswa dengan tenang tanpa menguras energi. 

Guru tenang, siswa pun senang, semua jadi menang.

3 comments

Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search

Catatan: