Air Mata Bumi, Lebih Dari Sekedar Angka di Papan Tulis

- 12.48
advertise here

Oleh: Andi Zulkarnain (Guru SMPN 1 Prambanan Klaten) 28 November 2025, 12:43 WIB 

Banjir Sibolga 2025

​Bencana banjir bandang yang meluluhlantakkan Sibolga dan tanah longsor yang mengubur harapan di Banjarnegara bukan sekadar berita duka di layar kaca. Itu adalah jeritan bumi. 

Puluhan nyawa melayang, anak-anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan buah hati, menjadi saksi bisu bahwa alam tak lagi ramah. Pertanyaan terbesarnya bukanlah "kapan bencana ini berhenti?", melainkan "apa yang salah dengan cara kita memperlakukan rumah kita sendiri?."

​Di tengah reruntuhan ini, tatapan kita beralih ke ruang-ruang kelas. Di sanalah, seorang guru berdiri, memegang kunci masa depan yang lebih lestari.

Mengapa Kita Gagal Menjaga Bumi?

Selama ini, pendidikan kita mungkin terlalu sibuk mengejar angka kognitif. Kita mengajarkan siswa siklus hidrologi, hukum archimedes rumus fisika tekanan air, atau biologi ekosistem hutan. Namun, kita sering lupa mengajarkan "rasa". 

Generasi kita cerdas secara intelektual, mampu membangun gedung pencakar langit dan membabat hutan demi ekonomi, namun tumpul secara ekologis. Bencana di Sibolga dan Banjarnegara adalah bukti nyata kegagalan kolektif kita dalam memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa alam.

​Saat hutan gundul di hulu tak lagi mampu menahan air, dan lereng gunung digerus tanpa perhitungan, itu bukan hanya soal teknis geologi. Itu adalah soal keserakahan dan ketidakpedulian yang mungkin, tanpa sadar, luput kita luruskan di bangku sekolah.

Guru Sebagai Arsitek Peradaban Ekologis

Peran guru hari ini harus berevolusi. Guru tidak bisa lagi hanya menjadi penyampai materi (transfer of knowledge). Guru dituntut menjadi pembentuk karakter (character builder) yang menanamkan Kecerdasan Ekologis.

​Cinta alam tidak tumbuh lewat hafalan nama-nama latin tumbuhan. Ia tumbuh saat guru mengajak siswa keluar kelas, menyentuh tanah, menanam pohon, dan melihat selokan yang tersumbat sampah plastik. Guru harus mampu menyisipkan narasi keberlanjutan dalam setiap mata pelajaran:

​Dalam Matematika, hitunglah berapa ton sampah yang dihasilkan satu sekolah per tahun, bukan hanya menghitung volume kubus abstrak.

​Dalam Agama dan Budi Pekerti, tekankan bahwa merusak alam adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi.

​Dalam Bahasa, ajak siswa menulis puisi tentang hutan yang menangis, agar empati mereka terasah.

Membangun Generasi Penjaga Bumi

Tugas guru adalah memastikan bahwa "generasi Banjarnegara" atau "generasi Sibolga" berikutnya adalah generasi yang paham mitigasi dan cinta lingkungan. Mereka harus menjadi generasi yang merasa "sakit" ketika melihat pohon ditebang sembarangan. Mentalitas instan yang mendahulukan keuntungan ekonomi di atas kelestarian harus dikikis sejak dini.

​Jika guru hanya mengajarkan sains tanpa menanamkan kasih sayang pada bumi, kita hanya akan melahirkan robot-robot pintar yang suatu saat nanti akan kembali menghancurkan alam dengan cara yang lebih canggih.

Penutup

Bencana hari ini adalah teguran keras. Bapak dan Ibu Guru, di tangan Andalah harapan itu tersisa. Jadikan ruang kelas sebagai bengkel perbaikan mental manusia. Ajarkan mereka untuk tidak hanya memetik hasil bumi, tetapi juga memeluk dan memulihkannya. Karena pada akhirnya, menyelamatkan bumi bukan tentang menyelamatkan tanah dan air semata, tetapi menyelamatkan masa depan anak cucu kita dari air mata yang lebih deras.

Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search

Catatan: