Meninggikan Derajat Anak

- 10.44
advertise here
Oleh: Agustian Deny Ardiansyah 
Opini, Senin 30 Januari 2023, 10:25 WIB
Artefak hasil gambar anak




Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. 

Pola interaksi, sikap, dan perilaku ayah, ibu, kakak, kakek, dan nenek turut memengaruhi perkembangan anak.

Dewasa ini perkembangan pola asuh anak dalam keluarga telah sampai pada titik nadir yang sangat memprihatinkan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dari 1.026 anak yang disurvei.

38 persen anak mengaku sering mengalami kekerasan oleh ibunya, 35 persen oleh ayah, dan sisanya oleh saudaranya.

Data tersebut menunjukan, keluarga yang seharusnya menjadi ruang paling nyaman dan aman bagi anak,
 telah berubah menjadi malapetakan yang kadang mengkandaskan masa depan anak dikemudian hari.

Tak jarang juga, anak yang memiliki prestasi mencolok di sekolah bisa melakukan hal-hal diluar nalar.

Sek bebas dan terjerat narkoba, dan ternyata setelah ditelusuri karena kuarangnya perhatian keluarga terhadap anak.

Perhatian disini bukan hanya perhatian dalam bentuk materi.

Namun bagaimana keluarga bisa melakukan pendekatan terhadap anak sehingga anak merasa nyaman dan hangat berada di dalam lingkungan keluarganya.

Jika hal tersebut bisa dilakukan maka pengertian berkeluarga menurut Ki Hajar Dewantara bisa wujud dalam setiap keluarga di Indonesia.

Karena berkeluarga bukan hanya sekedar berhimpun namun juga bertujuan untuk memuliakan setiap anggota di dalamnya.

Kalimat memuliakan itulah yang seharusnya menjadi spirit keluarga Indonesia.

Sehingga dalam hal pendisiplinan, pembentukan mental, dan pendidikan dapat dilakukan dengan cara-cara yang ”meninggikan drajat anak” bukan sebaliknya.

Jika hal tersebut dapat dilakukan oleh setiap keluarga di Indonesia, juga akan membuktikan konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara yang di dalamnya mengkaitkan  sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Renungan

Thomas Alfa Edison, seorang penemu bolam lampu yang sampai sekarang dan mungkin anak cucu kita kelak masih menikmati hasil karya agungnya.

Thomas Alfa Edison merupakan seorang anak yatim dimana dirinya pernah dikeluarkan dari sekolahnya karena suatu keterbatasan yang dialaminya.

Namun hal tersebut tidak membuat ibunya merasa kecewa, bahkan dengan penuh kesabaran dan kelembuatan ibunya mendidiknya (Thomas Alfa Edison ) sendiri di rumah.

Sering sekali ibunya membelikan Thomas Alfa Edison eksklopedia yang merangkum penemuan-penemuan besar dunia.

Dari itu Thomas Alfa Edison belajar tentang berbagai hal, yang pada akhirnya membuat Thomas Alfa Edison tumbuh menjadi seorang yang masih dikenal namanya hingga sekarang.

Karena penemuan agungnya (bolam lampu) dan ribuan penemuan lainya yang telah memiliki paten atas namanya.

Sepenggal kisah tentang Thomas Alfa Edison di atas merupakan gambaran kecil bagaimana kuatnya lingkungan keluarga dapat menentukan arah kemajuan anak.

Begitu juga seharusnya keluarga Indonesia, tak lagi harus cepat-cepat melakukan judgment negatif terhadap anak jika anak tidak bisa melakukan suatu hal.

Tidak mendapat nilai baik di salah satu mata pelajaran, atau bahkan melakukan tindakan berlebihan jika anak tidak melakukan hal yang menjadi keinginan kita.

Meninggikan Drajat Anak

Oleh karena itu, harus ada perubahan pola asuh anak dalam keluarga, sehingga keluarga bisa menjadi mitra untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Perubahan pola asuh anak dalam keluarga dapat dilakukan dengan pertama, memotivasi anak.

Motivasi merupakan bentuk lain dari dukungan yang memiliki tenaga ekstra luar biasa di dalamnya. Motivasi juga bisa membuat anak menjadi bergelora dalam meraih impiannya.

Anak seringkali tidak memilki motivasi dalam beberapa hal yang dilaluinya, sehingga perlu seseorang untuk memberikan motivasi.

Kesempatan memberi motivasi tersebut harus diambil penuh oleh keluarga. 

Motivasi dapat dilakukan keluarga dengan memberikan masukan ketika anak menghadapi masalah baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

Mendengarkan segala curhatan anak, atau memberikan ucapan selamat atas segala sesuatu yang dilakukannya.

Dengan seperti itu, maka dalam diri anak akan tertanam rasa percaya pada keluarga.

Kemudian memunculkan sifat pantang menyerah dan semangat yang bergelora karena selalu ada keluarga yang menemaninya dalam keaadan paling sulit sekalipun.

Kedua, memberi ispirasi dan mengispirasi anak. 

Memberi ispirasi dan mengispirasi dilakukan keluarga dengan membelikan buku tentang kisah orang-orang sukses atau keluarga langsung menjadi peneladan.

Bahkan kalo tidak bisa membelikan buku.

Keluarga bisa menceritakan sejarah kehidupan entah ayah, ibu, nenek maupun kakek sehingga anak bisa memahami bahwa segala sesuatu butuh proses untuk mendapatkan suatu hasil yang maksimal.

Dari kisah yang diceritakan anak juga dapat mengambil pelajaran akan hal-hal yang perlu dan tidak perlu dalam menjalani kehidupan sehingga bisa memilah mana yang baik dan yang buruk.

Sedangkan peneladan dapat dilakukan semua komponen keluarga dengan memberikan contoh terbaik pada anak.

Baik dalam hal berinteraksi, bersikap, maupun berprilaku harus benar-benar dilakukan yang terbaik dan diaplikasikan bersama anak.

Ketiga, melakukan komunikasi verbal (lisan) pada anak. 

Komunikasi verbal (lisan) pada anak dapat dilakukan keluarga dengan memeberikan pujian atas prestasi yang didapat atau mengucapkan kata-kata penyemangat saat anak mengalami kegagalan.

Komunikasi verbal (lisan) juga dapat dilakukan dengan menanyakan kabar, menanyakan hal-hal yang dilakukan anak di sekolah, atau membiasakan menampung kritik, ide/gagasan, dan curhatan anak.

Baik yang berkaitan dengan kondisi keluarga maupun seputar dunia permainnannya.

Hal tersebut menjadi penting karena dengan seringnya keluarga bercengkrama dengan anak dapat menumbuhkan lingkungan keluarga yang nyaman dan aman bagi anak.

Keempat, komunikasi non verbal (kontak fisik). Komunikasi non verbal (kontak fisik) dapat dilakukan keluarga dengan bersalaman, memeluk, menepuk pundak, atau membelai kepala anak dengan lembut.

Misalnya, komunikasi non verbal (kontak fisisk) dapat dilakukakan ketika anak akan berangkat sekolah dengan bersalaman dan mencium tangan ayah atau ibu.

Kemudian bisa juga dilakukan keluarga dengan memeluk anak ketika anak sedang menghadapi suatu masalah.

Bisa juga menepuk pudak untuk menyakinkan pada diri anak saat akan melakukan suatu perlombaan atau kegiatan yang menantang.

Komunikasi non verbal (kontak fisik) juga akan memberi dorongan pada anak untuk selalu mengejar target (impian/cita-citanya) karena anak akan merasa selalu ada yang peduli dengan dirinya.

Kelima, sentuhan qolbu (hati). Allah SWT dalam menciptakan mahluknya tidaklah selalu memiliki perangai atau sikap yang sama pada setiap individu yang diciptakanya.

Oleh karena itu dalam keluarga sering kita menemui anak yang agresif, pasif, pemalu, pendiam, cerewet, banyak akal, pemarah, manja, dan jahil. 

Perangai tersebut merupakan bawaan anak dan sifat alami mereka.

Maka setelah segala hal mulai dari memotivasi, memberi ispirasi dan menginspirasi, melakukan komunikasi verbal dan non verbal dilakukan.

Maka yang terakhir yang harus dilakukan adalah melakukan sentuhan qolbu (hati) dengan cara mendoakan anak kita.

Berdoa merupakan hal terakhir dan terbaik dalam pola asuh dengan cara ”meninggikan drajat anak”, karena di dalam doa pasti terkandung kalimat-kalimat positif di dalamnya.

Kalimat-kalimat positif dalam doa tersebutlah yang kemudian akan membangun pikiran keluarga akan sisi-sisi baik pada anak.

Pola asuh anak dengan berdasarkan pada lima pondasi di atas memang tidak mudah untuk dilakukan.

Komitmen keluarga menggunakan pola asuh dengan  ”meninggikan drajat anak” merupakan proses yang bernilai dan harus diapresiasi. (Agustian Deny Ardiansyah)

1 comments:

avatar

semoga kita bisa memiliki pola asuh yang baik untuk anak kita

Terimakasih sudah memberikan masukan dan saran
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search

Catatan: